Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Jalan dan Sosial
Hukum Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Umum dan Skema Ganti Rugi
Pemerintah sering membebaskan tanah adat untuk kepentingan jalan dan sosial di Indonesia, namun polemik kerap muncul di masyarakat. Kasus-kasus seperti pembebasan tanah untuk proyek jalan tol yang bertujuan mendorong konektivitas antar wilayah sering menimbulkan masalah. Masyarakat sering merasa bahwa nilai uang ganti rugi tidak sepadan dengan harga tanah. Sehingga hal iniĀ memicu aksi demo masyarakat diberbagai daerah pembangunan jalan tol di Indonesia.
Kasus-kasus Pembebasan Tanah untuk Jalan Tol di Indonesia
1. Kasus Tol Padang-Sicincin: Jalan tol Trans Sumatera melintasi pulau Sumatra dari Pekanbaru ke Padang Segmen. Pembangunan jalan tol Padang-Sicincin terhenti pada tahun 2021 karena kendala pembebasan lahan. Dugaan penyimpangan pembayaran ganti rugi mencapai sekitar Rp 30 miliar memicu masalah ini. Lahan yang digunakan untuk jalan tol tercatat sebagai tanah milik pemerintah, namun pemerintah membayar uang negara kepada perorangan. Pada Agustus 2022, kasus ini ditutup karena pihak yang tersangka tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. (Sumber: finance.detik.com)
2. Kasus Tol Semarang-Demak: Jalan tol Semarang-Demak melintasi dari Semarang sampai Demak. Pembangunan jalan tol Semarang-Demak menarik perhatian setelah Presiden Joko Widodo meresmikan seksi 2 yaitu Sayung-Demak. Pada saat peresmian, Presiden Joko Widodo menemui masyarakat yang menggelar aksi demo. Masyarakat menuntut kepastian uang ganti rugi dari pembebasan tanah untuk jalan tol. Mereka menganggap nilai uang ganti rugi tanah musnah mereka yang dianggap produktif, tidak sebanding dengan harga tanah mereka. Masyarakat menilai tanah musnah jika dijual akan memiliki harga sekitar Rp 2.000.000 – Rp 2.500.000. Sedangkan pemerintah menggunakan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 17 Tahun 2021 yang berisi bahwa pemilik tanah musnah akan menerima ganti rugi berupa kerohiman yang nilainya 25% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). (Sumber: detik.com)
Hukum di Indonesia Terkait Pembebasan Tanah untuk Jalan Tol
Pemerintah melaksanakan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol berdasarkan rencana tata ruang wilayah Kabupaten/Kota. Sebelum memulai pembangunan jalan tol, pemerintah melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang terkena dampak dan memberikan hak ganti rugi sesuai kesepakatan. Sehingga apabila kesepakatan tidak tercapai dan lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan, pemerintah mencabut hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan bidang pertanahan. Masyarakat berhak memperoleh ganti kerugian yang layak, yaitu besaran ganti kerugian yang wajar sesuai dengan tingkat kerugian yang ditimbulkan. Peraturan yang digunakan dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol adalah Perpres 36 Tahun 2006.
Dasar Hukum Pembebasan Tanah
Berikut ini dasar hukum yang digunakan untuk pembebasan tanah keperluan jalan tol meliputi:
- UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
- UU Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol
- Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
Berikut ini pihak yang terlibat dalam proses pembayaran ganti rugi dan pelepasan hak
- Tim Pengadaan Tanah (melakukan pembayaran)
- Panitia Pengadaan Tanah (melaksanakan pembayaran dan mengundang pemilik tanah)
- Pemilik tanah
- Camat/Lurah (pelepasan tanah)
Berdasarkan Pasal 13 Perpres Nomor 36 Tahun 2005 menetapkan bentuk dan besaran ganti rugi pembebasan tanah, seperti uang, tanah pengganti, dan permukiman kembali. Khusus untuk pembangunan jalan tol, pemerintah memberikan ganti rugi dalam bentuk uang. Sehingga ganti rugi hanya diberikan untuk hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.
Dasar perhitungan pembayaran ganti rugi adalah nilai nyata dengan memperhatikan NJOP. Perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan menaksir nilai jual bangunan, sedangkan perangkat daerah di bidang pertanian menaksir nilai jual tanaman. Takssiran harga tanah, bangunan, dan tanaman ditetapkan dengan SK Walikota/Bupati daerah yang terkena pembangunan. (Sumber: bphn.go.id)
Jika Anda mengalami permasalahan mengenai kasus serupa, klik di sini untuk mendapatkan konsultasi gratis.